When life sucks…

Dulu waktu masih usia SD yang lagi bandel-bandelnya as in pulang sekolah langsung kabur untuk adu main Tamiya ala Dash Yonkuro di mall biasanya pasang track super gede, ortu rajin kasih ngamuk dan petuah, “Kamu kok ngelawan terus sih? Belajar dulu sampe pinter dan dapet nilai bagus, kamu masih anak kecil, nanti kalo udah SMP baru boleh deh Mama bebasin karena udah gede.”

Setelah masuk SMP, suara mereka berbunyi “Mau berapa kali lagi dibilangin kalau kamu pulang sekolah harus pulang dulu ke rumah?! Atau minimal telpon, minta ijin kalau kamu mau pergi berenang sama temen. Kamu tuh masih anak Mama Papa, jadi masih anak kecil yang sekolah aja pake celana pendek, belum bisa seenaknya aja ambil keputusan sendiri!”

Beberapa lama kemudian di SMA yang notebene pakai celana panjang, nada dan pesan yang sama masih terulang, “Kamu ngapain sih setiap minggu bisa sampai empat kali ngurusin acara komsel dan pelayanan? Kursus pelajaran aja biasanya cuma maksimum seminggu dua kali. Jangan yang aneh-aneh deh, belum saatnya kamu untuk sibuk hal-hal seperti itu. Nanti kalau sudah kuliah, sudah bisa Mama Papa anggap orang dewasa, terserah kamu deh mau jadi apa dan ngabisin waktu ngapain aja.”

Ketika lagi menikmati tahun-tahun kebebasan dalam dunia pelajar-tingkat-tinggi alias mahasiswa, petantang-petenteng jalan merasa pintar karena cuman perlu bawa file binder note and bolpen, fesyen serba warna hitam plus rambut panjang hasil smoothing ala Mei Zuo (Meteor Garden), sibuk dengan aktifitas freelancing, suara mereka tetap berkumandang, “Jangan kamu pikir karena sudah kuliah kamu bisa bebas lepas ya, oh itu salah sama sekali. Kamu boleh merasa pintar, tapi kamu masih jauh anak kecil di mata Mama Papa, kami sudah makan asam garam. Selesaikan tanggung jawab kamu sebagai mahasiswa, belum saatnya bekerja karena kamu belum cukup dewasa dan masih perlu dengar nasihat kami sampai kamu lulus kuliah nanti.”

Setelah lulus kuliah beberapa bulan, sibuk dengan kerjaan amburadul sana-sini dan potongan rambut makin gondrong yang bergeser ke arah Dhani (Dewa) karena males perawatan, kedua patron keluarga itu tidak pernah menyerah, “Kamu ngapain sih sepanjang minggu urusin band, sulap, bikin EO dan komunitas internet itu? Itu ngga ada masa depannya, dengerin aja deh apa kata Mama Papa. Kami kan pernah muda, jadi dulu kami tuh pernah ngalamin masa itu juga, jadi kami tahu persis itu ngga bakalan kasih hasil yang bagus. Kamu masih kecil, tau? Jadi dengerin aja apa yang kami bilang dan turutin, jangan ngebantah seolah-olah udah bisa diperlakukan sebagai orang dewasa.”

Hari ini, bertahun-tahun kemudian setelah titik yang terakhir di atas, gue masih terus mendengar pesan-pesan yang sama. Hanya penyampaiannya saja yang berubah, dari bentuk marah dan omelan jadi petuah dan peringatan. Rasanya sedih dan capek untuk terus diperlakukan begitu, tapi gue bisa terlepas dari rasa pahit dan dendam karena gue udah buang jauh-jauh harapan bahwa hal itu akan berhenti.

Tidak peduli seberapa besar progress dan prestasi yang gue buat, gue akan selalu diperlakukan sebagaimana mereka memperlakukan gue seperti anak ingusan. Kita tidak akan pernah benar-benar jadi dewasa di mata orangtua kita. Jadi jika masih ada di antara pembaca blog ini yang berharap hal itu bisa terjadi dalam hidupnya, lupakan saja, Sobat, karena realita tidak seindah itu. Semakin kita berusaha menyangkal realita dan berharap hal-hal yang ideal, semakin kita akan terluka, lelah dan beresiko putus asa.

Gue dan semua orang lain akan selalu jadi anak kemarin sore di hadapan mereka, tidak peduli kita berbuat baik atau berbuat jahat. Keempat bola mata mereka akan selalu mengintai, menilai, merekam kesalahan dan kebodohan-kebodohan kita. Kita tidak akan pernah mendapatkan pengakuan dan validasi sebesar yang kita harapkan dari kedua orangtua kita, tidak peduli seberapa besar mereka mencintai kita.

Kenyataannya adalah.. sikap buruk itu dilakukan karena mereka terlalu mencintai anak-anaknya dengan sempurna. Justru kesempurnaan itu yang memaksa mereka untuk berlaku dengan, seolah-olah, tidak sempurna.

Mereka harus terus menganggap anaknya, tidak peduli usia sedewasa apapun, sebagai anak kecil agar mereka terus bisa melindungi dari bahaya. Mereka tidak ingin melihat kita terluka. Mereka tidak ingin kita melakukan kesalahan yang sama dengan apa yang pernah mereka lakukan dahulu. Mereka tidak pernah bisa sepenuhnya membebaskan kita karena ada begitu banyak bahaya yang siap menanti di luar sana. Demikianlah timbul seluruh rentetan aksi mengekang dan tidak pernah menganggap anaknya dewasa.

Realita tidak pernah indah dan manis layaknya ajaran buku gula-gula motivasi pengembangan diri seperti The Sampah Secret dan sejenisnya yang semakin banyak bertebaran di Gramedia. Justru sebaliknya, realita memiliki taring siap mengigit siapa saja, setiap saat jika kita tidak gagal membuka mata lebar-lebar.

Tapi tentu realita tentu tidak hanya mengigit kita, melainkan para orangtua juga. Mereka akan terus dihadapkan pada kenyataan bahwa anak-anak tidak akan pernah menjadi sama seperti harapan mereka. Mereka akan terus berbenturan dengan kenyataan bahwa suatu saat anak-anak akan berhasil dengan caranya sendiri, bahkan melanggar panduan-panduan yang diberikan. Mereka akan mengelus dada saat mengakui bahwa mereka tidak dapat lagi mengerti jaman, merasa tergopoh-gopoh dan terasing, dan akhirnya ditinggalkan oleh anak-anak yang mereka sayangi.

Sucks, I know, but it’s the reality and it is full of paradox. It will try to fuck you all the time from all possible angles. But only by facing it, you can grow sharper, stronger, faster, bigger, and always better than before. Life is supposed to be hard and difficult, that’s how we transform and earn values! Remember that what does not kill you only makes you stronger. You can try to run and deny it by living an a ideal perfect world, you’ll pay for much worse consequences later on.

Tempo hari gue berpapasan dengan dua belas bocah usia SMP di Senayan City. Mereka berjalan keliling mall dengan sepatu high heels koleksi Christian Louboutin, gucci handbags di tangan kiri, handphone Vertu di genggaman kanan serta kerincingan asesoris platina di pergelangan, rambut megar salonan dan make-up gincu super menor, semua berkat dedikasi orangtua mereka yang mendidik anaknya sedari usia sangat dini menjadi pecun sosialita dengan kemanjaan fasilitas, akses glamor, dan kemewahan (baca: kepalsuan) hidup lainnya.

Gue sangat berterima kasih sama orangtua gue yang telah memberikan cinta yang begitu sempurna hingga terlihat kebalikannya. Terima kasih atas semua larangan, bentakan, hinaan, omelan, dan hukuman yang kalian berikan sewaktu gue masih kecil dahulu. Terima kasih atas semua hal-hal yang tidak kalian belikan sekalipun gue ngambek, merengek-rengek bergulingan jadi pusat perhatian yang memalukan ketika berjalan di tempat publik. Terima kasih atas pukulan, tamparan, kekecewaan, dusta, dan minimnya validasi yang kalian lakukan di sepanjang hidup gue.

Seandainya hal-hal itu tidak terjadi, gue ngga akan bisa berdiri dengan kokoh, berjalan sendiri hingga sampai di tempat ini, hari ini. Berkat seluruh ‘kekejaman yang mewah’ itu, gue bisa terhindar dari nasib menghabiskan hidup sebagai pecun, gigolo, lintah sosialita penghisap darah validasi dari dunia di sekelilingnya.

Gue sama sekali ngga merasa kecut karena I chose not to. Yes, to be bitter is a choice. Gue ambil pilihan yang sebaliknya, yaitu merasa beruntung dan sangat berhutang atas tough love yang gue dapetin semenjak kecil dahulu. I miss you a lot, Mom, day and night. Everything I have now is coming from you, so I know that you’re proudly looking out for me from the heavens. Thank you to you too, Dad, for showing me the integrity and the way of the warrior. I love both of you guys so much that I can’t avoid showing exactly the opposite. I’ll always be a spoilt kid in your eyes and I don’t mind at all.

Beberapa hari yang lalu adalah ulang tahun gue. Sama seperti tahun lalu dan seluruh dua puluh lima tahun sebelumnya, tidak pernah ada aktifitas, perayaan, ataupun ekspektasi spesial sama sekali selain ucapan selamat dari lingkaran sahabat yang gue sayangin. I’ve gotten accustomed to and enjoy the simplicity of it. There should be nothing to celebrate upon the day you’re born, cos it was the first day to realize, though sometimes it might hit years later, that reality is actually a bitch. Shit happens? Yes, of course, the reason is because reality sucks.

So, being a little bit older and wiser this year, what’s the best wisdom I can share? Simple. The reality of life is full of paradox and parafucks. So when life sucks, take advantage of it and just cum hard! You should never ever waste a good suck.

Now repeat after me three times: when life sucks, cum!

That’s how you enjoy life, Lex dePraxis’ style… 🙂


92 Responses to When life sucks…

  1. hehe,kayaknya semua ortu gt y, sikap melindunginya gde bgt. klo bisa jangan2 kita ni dah dimasukin ke dalem balon, kayak film “Bubble boy”. terproteksi dr segala hal. tapi kadang aku ingin dibiarkan terluka, biar aku bisa belajar…

  2. Pingback: Romantic Renaissance » Blog Archive » Musik, Michael Jakson, dan Mellow

  3. Ceritanya bgus.. kadang memang ortu mempunyai pendapat lain dgn kita, tapi sebenarnya mereka tahu bahwa itu memang yg terbaik untuk kita…
    okelah kita berbeda pendapat tapi bukankah dgn perbedaan semua akan menjadi lebih beragam…???
    slm kenal juga…

  4. Masa iya sih harus menjadi orang tua yang membunuh karakter untuk menyampaikan niat baik? Why not just show the kid all the reality and make them chooses life they want?

  5. makasih bro… udah ngasih comment ke blog gue yang nyaris aja hilang… hehehe… soalnya udah jarang di tengok tengok lagi…

    orang tua memang rumah paling indah.. selama mereka bisa menjadi rumah yang indah… tapi kalau mereka tidak lagi bisa, maka tugas kita semua menjadikan mereka sebuah rumah yang indah bagi hidup kita…

    thx…

  6. Orang tua memang seperti bos, seperti nya mereka selalu benar. Tapi pada akhirnya kita sadar bahwa maksud mereka lah yang benar, hanya penyampaian nya saja yang terkadang tidak sesuai dengan mood kita. Jadi morale of the story nya ya… don’t hear tapi listen…
    Salam kenal and thanks for visiting my blog.

  7. kunjungan balik neh bro… keren juga neh hitman system .. btw, soal cinta yang lu paparin di atas…yup, gue ngerasa juga kayak gitu. dan efeknya..anak gue juga bakal ngerasa juga tuh.. pahit dulu manis kemudian hwehwehwehwe

  8. “Semakin kita berusaha menyangkal realita dan berharap hal-hal yang ideal, semakin kita akan terluka, lelah dan beresiko putus asa.”

    Memang seperti itu, sekarang hanya bagaimana caranya kita menikmati hidup

  9. wow, artikel yang ini keren abis.

    pas menggambarkan kehidupan gua juga. dari tk ampe kuliahpun masih di kawatirin ortu ini itu.

    tapi dibalik itu semua, kalau kita ingat baik-baik. ortu kita tidak ada replacementnya.

    anyway, lets thanks together to our parents for transforming us just like the way we are now.

    cheers…

  10. mampir pertama niih.. ternyata tulisannya seru2 yah..

    yg dibahas ini lebih kerasa lagi pas dah punya anak.. kuat banget tuh rasa “jangan sampe anak gue bikin salah kaya gue”..

  11. hehehe…asyik nih postingan…anak adalah amanah, titipan…ortu adalah amanah,titipan juga…klo loe mau sukses jadi anak, patuhilah ortumu…sebaliknya kalo mau sukses jd ortu, dengerkanlah keluhan sang anak…(kira2 begitu deh…)

  12. wah2… setan….
    bener juga loe.. hahahaha…
    gw uda kepikiran begitu dari duludulu,,, tapi baru sekarang gw nyadar begitu loe bilangin barusan. tenkiu brow..

    (pasti)sahabatmu,
    bourne

  13. Aduh, Aku malah keinget ma sepupuku. Dia dlu cuma pemuda biasa yg hidup pas2an n lulusan STM.
    Titik baliknya berawal saat dia melamar ceweknya. Tw g jwaban ayah ceweknya? “Emg kmu punya apa? koq brani2nya melamar anakku. Emg kmu mw memberi makan anakku dgn ap? pke batu?” ya kira2 gtu lah jwabannya. Bkan sepupu aj yg dihina, ttp jg ayahnya. Kasar banget ya? hehe..
    Truz, dia pnya tekat pengin sukses. Dia pergi ke Jakarta untuk mengadu nasib. Gilanya, dia ksana cuma bwa badan plus baju satu setel. Dah itu aj, ga lebih! kartu identitas juga ga dia bawa.
    Coba deh kalo kmu ortunya? Pasti ngelarang!
    Selama 9 tahun dia meninggalkan keluarga, tp ga ad yg tw dimana dia berada. Dia hanya ngasih kbar sesekali aj lewat surat tanpa tertulis alamat plus kiriman uang. “kalo aku tw dia ad dimana, saya akn langsung ksana” kata ortunya.
    By the Way, aq sambung critanya kapan2 aj ya..
    To be continue…

  14. salute for Lex dePraxis!

    tapi hati2 klu kedua ortu bertentangan dalam cara mendidik….

    kyk gw g’ tau harus ikut yang mana…. :'(

    tapi Hitman System udah membuka aura gw dan gw bakal jd gw yang baru!!!!

    thank you so much to Hitman System…..

    for diaz_oi

  15. absolutely agree!!!!!

    setiap orang punya masalah, karakter masalah dan cara penyelesaian masalah yang berbeda-beda, but in this case gw setuju sama Lex, didikan terbaik dimulai dari rumah kita sendiri. coba bayangin gara2 fenomena sosialita banyak gadis remaja maupun dewasa yang tidak lagi punya empati dengan keluarga dan lingkaran sosial yang ada di sekeliling mereka just to prove the point.

    jadi gw juga merasa beruntung menikmati didikan kuno, aneh, kasar, bengis dan kejam (sorry, yang ini terlalu berlebihan) dari orang tua seperti yang disampaikan oleh Lex dePraxis, karena gw lebih bisa menghargai yang ada di sekitar gw. jadi gw setuju banget apa yang Lex tulis. gw hargain banget karena itu merupakan pengalaman Lex sendiri.

    tinggal kita sendiri sebagai pembaca bagaimana menyikapi fenomena2 tersebut. apakah kita nantinya sebagai calon orang tua papa mama bagi anak2 kita akan menerapkan didikan yang menuju ke arah yang lebih baik?

    cheers…

  16. Saya rasa masalahnya adalah komunikasi dan keterbukaan. Syukur deh ortu menempatkan diri sebagai teman walau pun masih ada omelan tapi biasanya mereka ngerti setelah diskusi. Well, my husband said life is suck. Live it, Love it, Suck it.

  17. @j.yo
    oh weLL, gw kira Lo nanya gimana Lex bs tau syapa yg keLas berapa kaLau penampiLannya fuLL permak-ed..

    naming peopLe with a term without knowing them isn’t appropriate?
    dun think so..
    humans usuaLLy have a certain stereotype for certain groups of peopLe,
    with or without knowing them..
    it is normaL, i think.. n CMIW~

    my name is speLLed RedZz with capitaL R n Z, by the way..

  18. @redzz
    ‘i bet you couLd name those who are in Junior High even with fuLL permak on their faces (n bodies)..it’s not that difficuLt Lah.. :)’

    why should i name them? whats the purpose of it to me?

    ‘Living a normaL Life, i guess none wiLL do.
    even the meaning of normaL is different for every person :)’
    YEAH. thats the point.

    ‘And by the way, why are you so ‘in’ to that ‘pecun’ term? 🙂 )’
    define ‘in’. i might not be ‘in’ to it, but it bothers me. because i just don’t feel that using it to name other people without knowing them is appropriate in any way, dear. i kinda love this writing as i read it, but when it reached that part, i just frowned.

    @Like
    ‘judge a book by it’s cover?
    kita semua seperti itu man ! ga bisa muna kok ‘
    i do that too, yeah. i just don’t feel like one with such great advice, such great point of view, for example the guy who wrote this, should judge a book by it’s cover and make it an example in that strong writing of theirs.

    thanks for the response on my comment.

Leave a Reply