The Tale of John Waste

Banyak orang bijak yang saranin kegiatan menulis sebagai salah satu terapi untuk memulihkan gejolak emosi dan hati yang terluka, especially the denials of a broken relationship.

Gue pribadi ngerasa itu saran yang baik karena mendorong kita untuk berani menghadapi sang ‘monster’ yang berkecamuk, memandangnya tepat di kedua bola mata dan menjinakkannya di atas kertas dengan sebilah pedang pena. Since gue orangnya terbiasa mellow dan emang doyan nulis, it wouldn’t be hard for me to write something off my chest lah. So I did a couple of free writings few months prior the breakup. The Tale of John Waste adalah salah satu yang ngebikin gue kaget sendiri setelah nyelesainnya saat itu, bahkan sekarang setiap gue baca lagi.

Ngga tau darimana dapet nama itu, muncul begitu aja dan dialog langsung ngalir dengan lancar tanpa arah yang gue ketahui sebelumnya. Scary, and quite revealing at the same time. And I still remember how I loved the eerie pregnant silence in my head when the story reaches its final line. John was stunned. I was stunned too. Terbiasa kritis, gue cenderung selalu bisa ngeduga-duga apa yang akan terjadi berikutnya, but saat itu gue sama sekali ngga antisipasi apa yang ada di alam bawah sadar. Not that I consider such writing seriously, it’s just plain amusing.

The clickable photo above was taken on the beginning of the whole My Sassy Girl thing. Yeah that was me with a stupid guitar and backflipped hat. We were in the same group on a mission trip to Sukabumi. It was a delightful beginning. Little did I know that John Waste had been standing in shadow, waiting for his time to emerge a couple of months later.

*creepy tunes fade in*

 

The Tale of John Waste

 

A: “Ugh, ini John Waste, Anda pasti gila menelpon subuh begini.”

B: ” . . . .”

A: “Halo?”

B: “. . . . .

A: “Halo. Anda siapa?”

B: “. . . . .”

A: “Jika Anda tidak mau menjawab, aku akan tutup telepon ini.”

B: “. . . . .”

A: “Baiklah. Bye.”

B: “Tunggu…”

A: “Apa?”

B: “Aku butuh bantuan.

A: “Anda siapa?”

B: “Namaku tidak penting. Aku butuh bantuan.

A: “Anda jangan main-main. Ini baru pukul 4 pagi dan aku tidak suka istirahatku diganggu. Katakan siapa Anda?”

B: “Aku diteror oleh seseorang.”

A: “Oke, tapi sepertinya Anda salah sambung. Anda memerlukan polisi, bukan seorang akuntan publik yang sedang menikmati istirahatnya setelah lembur dua hari dua malam malam karena berusaha mengalihkan sakit hatinya akan seorang perempuan.”

B: “Anda tidak mengerti. Aku diteror seseorang.”

A: “Tidak, justru Anda yang tidak mengerti! Aku tidak kenal Anda dan tidak bisa menolong apa-apa. Yang Anda perlukan adalah 911.”

B: “Anda harus melakukan sesuatu. Aku dimaki-maki dan diancam.”

A: “Ya, terserah, tapi satu-satunya yang akan aku lakukan adalah menutup telepon ini dan kembali tidur. Selamat malam.”

B: “Tunggu! Aku sudah menghubungi 911.”

A: “Bagus. Pasti mereka akan sedang menuju tempat Anda, bukan?”

B: “Tidak.

A: “Apa?”

B: “Mereka tidak mengerti. Mereka tidak akan bisa mengerti. Tapi aku yakin Anda pasti mengerti.

A: “Apa-apaan sih ini?”

B: “Aku diteror.

A: “Demi Tuhan, apa maumu? Apa maksudmu?”

B: “Ya.”

A: “YA? Aku bertanya apa maumu dan kau menjawab YA? Anda sedang mabuk?”

B: “Tidak.”

A: “Lalu?”

B: “Anda harus melakukan sesuatu untukku.”

A: “Baiklah. Apa itu?”

B: “Tutup telepon ini segera.”

A: “Anjing keparat, permainan apa lagi ini?!”

B: “Ayo tutup teleponnya sekarang.”

A: “Kau telah merusak selera tidur malamku, brengsek!”

B: “Oh, apa maumu? Hentikan kata-kata kasar itu dan tolong tutup telepon ini!”

A: “Aku sudah kehilangan kesabaranku!”

B: “Hentikan, tolonglah…”

A: “Hei tolol, aku memiliki teman seorang detektif dan aku akan memintanya untuk melacak nomor keparatmu ini, dan setelah menemukannya aku akan segera merobek-robek bibirmu dan menyerakkannya di sepanjang jalan!”

B: “Hentikan!”
A: “Huh! Pengecut! Atau kau ingin mempermudahnya? Cepat katakan siapa dirimu dan aku akan segera ke sana untuk menghabisi nyawamu!”

B: “Tidak!”

A: “Ini bukan permintaan, bodoh! Ini ancaman! Cepat atau lambat kau akan mati!”

B: “Mengapa Anda lakukan ini padaku?”

A: “Karena kau telah mengganggu tidurku, idiot! Kau tak dengar ya? Katakan siapa dirimu sekarang!”

B: “Tolong hentikan teror ini.”

A: “Katakan!”

B: “Tidak!”

A: “Katakan, banci!”

B: “. . . . .”

A: “Tadi kau tuli, dan sekarang kau bisu?!”

B: “John…”

A: “Apa katamu, keledai?”

B: “. . . . .”

A: “Hei, aku berbicara denganmu! Katakan siapa namamu, kutu busuk!”

B: “Ugh, ini John Waste, Anda pasti gila menelpon subuh begini.”

A: “. . . . .”

*creepy tunes fade out*


11 Responses to The Tale of John Waste

  1. Pingback: Romantic Renaissance » Blog Archive » Tips Trik Maintenance Hard Disk External

  2. Monyed lo Lex. jago banget nulis ginian, gue juga uda terbiasa suka nebak2 apa yg terjadi, kaga ketebak gitu, trus spontan gue langsung baca lagi dari bawah. BUJUGILEEEE… MANTEP LO BRO! hahahahah salut gue ama lu. lu makan apa siH? lo nanem ginseng ye di wc

  3. hah? maksudnya apaan ya

    tapi seru juga, bisa jadi bahan pelajaran bagaimana membalikan sebuah percakapan atau keaadan dari diteror menjedi meneror.

    Ugh, pasti seru….

Leave a Reply